| https://www.google.com/amp/s/tekno.tempo.co/amp/1470038/empat-dekade-aids-sejarah-penemuan-dan-perjuangan-melawan-aids |
Berbicara soal AIDS, apakah kita sudah mengenalnya? Sebelum kita terlanjur percaya pada mitos, kita mesti tahu bahwa AIDS adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV), yang menyerang seorang individu, sehingga menyebabkan dia mengalami penyakit AIDS. Jadi HIV menyerang sistem kekebalan tubuh alami manusia yang kurang atau lemah.
| https://www.alodokter.com/hiv-aids |
1 Desember 2021 lalu, baru saja diperingati sebagai hari AIDS sedunia. Supaya kita tak melupakannya, tentu perlu terus digaungkan terus, agar orang-orang lebih sadar diri dalam mencegah, maupun mengobatinya.
Kita perlu melakukan hal tersebut pula, sebagai upaya membantu pemerintah melalui kementerian kesehatan yang telah berkomitmen dalam menekan laju kasus HIV/AIDS di Indonesia, demi melakukan eliminasi AIDS pada tahun 2030 mendatang, yang mana komitmen tersebut telah tercermin dalam target triple 95%.
Target tersebut yaitu 95% Orang dengah HIV (ODHIV) mengetahui status HIV. Lalu 95% lagi, ODHIV mendapatkan terapi obat Antiretroviral (ARV), dan 95% selanjutnya yaitu di mana 95% ODHIV yang sudah mendapatkan obat ARV tersebut dan mengalami penurunan jumlah virus HIV.
Namun demikian, dari target 95% tersebut dilaporkan bahwa, baru 75% Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), yang mengetahui status HIV dan baru 39.6% yang baru mendapatkan obat ARV. Dari jumlah tersebut, baru 32.4% yang sudah mengalami penurunan jumlah kasus HIV. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan kita adalah:
1. Bagaimana sebenarnya upaya penangan kasus HIV/AIDS di Indonesia hingga Desember 2021 ini?
2. Bagaimana sisi lain terkait epidemi HIV/AIDS dan sejarahnya di Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada live YouTube Berita KBR, Kamis 16 Desember 2021 lalu, hadir anggota Badan Pembina Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS), Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI dan ODHIV Asti Septiana.
Pada diskusi tersebut, Professor Samsuridjal mengatakan bahwa upaya penanganan HIV/AIDS di Indonesia sejauh ini berjalan cukup baik seperti di negara lainnya, meskipun masih banyak tantangan tapi kita sudah mencapai keberhasilan, di mana sudah terjadi peningkatan sekira 75% jumlah pasien yang terdeteksi dan sudah mendapatkan obat ARV. Namun demikian, kita masih perlu mengejar target 95%, yang mana kita harus bergandengan tangan antara pemerintah, perguruan tinggi (akademisi), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan berbagai pihak.
Di Indonesia, HIV/AIDS sudah ada sejak tahun 1986, dengan didirikannya LSM di masyarakat dan perguruan tinggi. Kemudian dari tahun ke tahun, terus ada yang mendirikan LSM hingga sekarang. Jadi sebelum pemerintah punya program dan kebijakan, di masyarakat, sudah terlebih dahulu bergerak.
Di tahun 2002, melalui izin pemerintah lewat Kementerian Kesehatan, akhirnya Indonesia mampu membeli obat ARV meski jumlahnya baru sedikit. Karena memang saat itu mahal sekali.
| https://rsud.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/beberapa-efek-samping-arv-yang-mungkin-dirasakan-penderita-hiv-89 |
Lalu pertanyaannya:
Seefektif apa obat ARV bagi pasien HIV/AIDS?
Sebelum ada obat ARV, orang-orang yang sudah terinfeksi HIV/AIDS, dikatakan Profesor, usianya bertahan hidup, antara 6 bulan – 1 tahun sebelum meninggal dunia. Nah, dengan adanya obat ARV ini, maka pertumbuhan/perkembangan virusnya bisa ditekan, sehingga tak dapat berkembang biak dan tak dapat lagi terdeteksi dan kekebalan ODHIV dapat naik kembali, termasuk berat badan yang kembali baik, sehingga dia bisa kembali ke kehidupannya yang lebih baik.
Di tahun 2005 hingga kini, pemerintah Indonesia menghadirkan obat ARV dengan subsidi penuh (gratis) bagi masyarakat. Tentu program ini, diharapkan terus konsisten, bukan?
Secara sederhana, ARV ini menghambat pertumbuhan virus HIV. Jadi virus yang tua akan mati, lalu virus yang muda akan dihambat pertumbuhannya sehingga tak menjadi virus ganas. Maka dari itu, di tubuh ODHIV tersebut, virusnya menjadi amat sedikit sehingga tak bisa terdeteksi. Nah, karena virusnya amat sedikit, maka tak dapat menghancurkan kekebalan tubuh. Jadi sel-sel kekebalan tubuhnya menjadi normal, bisa melawan penyakit dan kekebalan tubuh orang tersebut, akan sama dengan yang lain, bisa sehat, segar dan produktiv kembali. Bahkan, jika dia seorang ibu, dia bisa hamil lagi dan melahirkan, tanpa menularkan virus tersebut ke suami dan anak yang baru dilahirkan.
Jadi sekarang ini, tak hanya di Indonesia, di seluruh dunia, berkat adanya obat ARV, bayi-bayi yang lahir, tak tertular dari si ibu. Dengan kata lain, obat ARV ini, selain dapat mengobati pasien HIV Positif dengan menaikkan kekebalan tubuhnya, dapat mencegah penularan. Syaratnya cuma 1 yaitu tidak boleh putus obat (minum obat terus sambil tetap cek ke dokter). Sekarang, obat-obat ARV yang disediakan pemerintah, sudah lebih nyaman, hanya 1 obat untuk 1 kali sehari, beda dengan dulu yang bahkan sampai 10 jenis obat perhari.
Selain karena memang ketidakpahaman, bahkan tokoh masyarakat terhadap ODHIV dan ODHA, sehingga memang kerap sekali mengalami diskriminasi di negeri ini, sejurus dengan masih adanya budaya patriarki yang cukup tinggi. Namun demikian, kunci untuk melawan stigma itu adalah penyuluhan dan pemberian informasi yang benar.
Mengenai pengobatan terhadap yang baru terinfeksi, sebut Profesor, para relawan yang ODHIV dan ODHA lebih mampu memberikan saran ke si penderita, karena sudah memiliki pengalaman yang sama. Ini lebih efektif daripada ceramah dokter, termasuk ke pencegahan.
Ada lagi kesalahpahaman yang beredar di masyarakat yang menyebutkan, seseorang bisa terinfeksi HIV/AIDS, hanya karena dia melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). Padahal faktanya tidak demikian. Seseorang bisa tertular virus ini, kalau ditularkan oleh siapa saja.
Untuk bisa mencegah supaya kita tak tertular HIV, YKIS sendiri:
1. Sering mengadakan seminar dan webinar, yang melibatkan remaja. Jadi, kita harus terus memberikan pemahaman yang benar.
2. Lalu, perubahan perilaku seperti hubungan seksual yang aman yang kita yakini tidak memungkinkan menularkan kepada kita, termasuk menggunakan alat-alat yang dapat mencegah penularan.
3. Terus minum obat ARV, supaya pasangan tak tertular. Namun kalau si pasangan tak minum obat secara teratur, kita disarankan untuk minum obat. Sekali lagi, untuk mencegah kita tertular virus dari si pasangan. Ini namanya program Pre – Exposure Prophylaxis (PrEP) yang berarti metode pencegahan HIV di mana orang yang tidak memiliki HIV, meminum obat harian untuk mengurangi resiko tertular.
4. Tetapi memang, yang paling aman adalah menjalanakan perilaku yang aman.
5. Nah, di masa pandemi ini, ODHIV dan ODHA sehat, juga sangat disarankan untuk secepatnya melakukan vaksinasi.
Pemerintah punya 2 kebijakan terkait obat ARV, yang amat menolong kita, yaitu subsidi penuh dari pemerintah alias gratis. Lalu, sejak tahun 2004, obat ARV sudah diproduksi oleh perusahaan negara Kimia Farma, lalu ada perusahaan – peusahaan swasta lainnya.
Apakah ada masalah? Tentu ada dan dikeluhkan oleh tenaga kesehatan maupun ODHA, kadang-kadang penyediaan obatnya tesendat. Bukan karena obatnya tidak ada (obanya proses terus), hanya dalam proses untuk pengadaannya itu, karena menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dimana penggunaanya dana dari negara ada aturannya, salah satunya untuk obat ARV yang tidak boleh mahal. Tersendat sebentar, tapi selanjutnya aman. Kita masih beruntung sebenarnya daripada negara lain seperti di Kamboja dan negara lain, yang tadinya dapat bantuan dari negara lain, pas bantuan itu harus disetop, jadi mereka harus mengadakan sendiri. Di sini mereka agak kesulitan dalam membuat produksi sendiri.
Nah, dari sini sudah jelas bahwa diperlukan sinergitas penuh antara kita untuk terus berupaya menanggulangi HIV/AIDS. Kita tentu tak bisa mengharap ke pemerintah saja.
Di Indonesia, obat ARV ini bisa didapatkan di hampir seluruh Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia, bahkan sampai ke kabupaten.
Tentang ODHIV Asti Septiana
Sebagai orang dengan HIV (ODHIV), Asti Septiana mengatakan, dia bersyukur karena obat ARV sudah ada saat ini dan mudah. Dia juga berharap bahwa masyarakat ikut andil dalam penanggulangan HIV/AIDS ini, karena memang HIV/AIDS ini sudah lama ada di Indonesia. Tak sampai di situ, masyarakat pula diharapkan mau mencari informasi yang akurat tentang ini yang meliputi pemahanan bagaimana cara penularannya, prinsip penularannya, juga pencegahan dan pengobatannya. Jadi tak usah percaya pada mitos yang beredar. Telebih dia mengatakan, bahwa masyarakat seharusnya tak boleh menghubung-hubungkan HIV/AIDS tersebut dengan moral seseorang, karena merupakan salah satu diskriminasi terhadap ODHIV.
Asti didiagnosa HIV di 16 Juni 2011, yang ditularkan oleh suaminya, di mana sebelumnya, suaminya pernah menggunaan Putau sebelum tahun 2000. Asti saat itu katanya, belum paham tentang HIV. Namun saat didiagnosa itu dia tetap merasa sehat, jadi saat itu fokusnya hanya untuk merawat suaminya yang memang sudah parah.
Pertama sekali mengonsumsi obat ARV, bersama suami, Asti memulai di tahun 2011, sempat berbeda obat. Di tahun 2017, obatnya sama. Sampai sekarang pun, tidak ada infeksi baru, maupun infeksi yang berulang, berikut TBC suaminya juga tidak kambuh. So, dengan minum obat secara teratur, tetap bisa hidup sehat.
Mengenai stigma dan diskriminasi di masyarakat terkait ODHIV, memang masih ada hingga saat ini. Namun ketika pertama kali Asti didiagnosa positif, setelah dia sendiri menerima kondisinya, keluarga dan teman-temannya tak mempermasalahkan hal itu, malah menjadi support systemnya. Intinya sih menurutnya, kalau kita menerima diri kita sendiri, orang lain juga akan melakukan hal yang sama.
Komunitas untuk saling menguatkan sesama survivor HIV/AIDS, tentu ada. Namanya kelompok dukungan sebaya (KDS). Selama pandemi ini, ngobrolnya hanya di Whatsapp Grup. Grupnya ada di beberapa kota. Nah, Asti sendiri sejak 2016, memasuki media sosial seperti instagram dan kanal YouTube untuk “memerangi” stigma yang sudah ada di masyarakat tentang orang-orang yang positif HIV dan memberi pemahaman kepada orang banyak, dengan bahasa yang sederhana yang mudah dipahami.
Selain masyarakat diajak untuk lebih memahami tentang HIV/AIDS disampaikan Asti, masih ada yang perlu dibenahi kata-kata di slogan tentang pencegahan HIV/AIDS tersebut, seperti kalimat “setia pada pasangan”.
Menurut Asti, kalimat ini alangkah lebih baik jika tak ada, karena toh semestinya kita tak boleh ikut campur ke privacy orang laim. Jadi menurutnya, slogan-slogan yang beredar itu lebih ke fakta saja, seperti, mencegah penularan HIV/AIDS dengan kondom dan dengan Pre – Exposure Prophylaxis (PrEP), sehingga tak ada anggapan bahwa yang bisa terkena HIV/AIDS adalah orang-orang yang selingkuh.
Yang dapat saya simpulkan dari pemaparan tersebut adalah masing-masing dari kita, jaga kesehatan dan jaga perilaku secara aman, termasuk menjauhi narkoba. Namun jika sudah didiagnosa positif memiliki HIV/AIDS, segera berobat dan tidak boleh putus obat.
0 Comment