![]() |
| Sumber: infopublik.id |
Di dalam keluarga, terdapat ayah, ibu, dan anak-anak. Masing-masing, memiliki hak dan tanggungjawab, terlebih tanggungjawab orangtua kepada anak-anak, dalam membimbing anak.
Berbicara mengenai anak Indonesia, kita berarti berbicara mengenai sepertiga jumlah penduduk Indonesia (0-18 tahun berdasarkan Undang-undang perlindungan anak), yang menjadi prioritas. Hal ini, terkait arahan presiden kepada Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) dalam 5 tahun ke depan, yang meliputi:
1. Peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan
2. Peningkatan peran ibu/keluarga dalam pengasuhan anak
3. Penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak
4. Penurunan pekerja anak
5. Pencegahan perkawinan anak
Nah, kalau sudah jelas hal-hal di atas, kita juga mesti memahami Konvensi Hak Anak yang berkaitan dengan media, khususnya Pasal 17 menyebutkan, tiap anak berhak mengakses informasi dan materi lainnya dari beragam sumber. Informasi ini, hendaklah informasi yang bermanfaat dan dapat dipahami anak. Selanjutnya di undang-undang perlindungan anak, sebaiknya, kita sebagai masyarakat, harus mengontrol, pemberitaan dan produk jurnalistik, apakah sudah ramah anak atau belum. Kita juga bisa melihat di media-media, apakah sudah ramah anak? Kalau dirasa belum, bisa dilaporkan ke Dewan Pers, supaya dicek dan diseimbangkan, supaya dapat melindungi dan ramah anak.
Ini jadi tugas kita bersama. Artinya kita bisa melindungi hak-hak anak, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara normal. Kenapa hal-hal tersebut mesti kita perhatikan? Karena Indonesia menargetkan diri menjadi negara yang ramah dan layak anak di 2030.
Bagaimana Pemenuhan Hak Anak menuju Indonesia Layak Anak 2030?
Sementara itu, yang tak kalah penting, menurut Asdep Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indoneisa , Keluarga Dan Lingkungan, Rohika Kurniadi Sari, sistem pengasuhan anak, semuanya jelas ada di keluarga, dukungan keluarga, pemeliharaan keluarga, supaya anak-anak yang diasuh dalam keluarga ini, tidak terjadi keterpisahan, baik secara sementara (day care, ikut nenek, adopsi terus menerus. Jadi selama usia anak, harus orangtua itu ada supaya ada kedekatan sama orang tuanya. Itu akan berpengaruh pada tumbuh kembangnya) atau permanen. Jadi si anak ini, harus tinggal bersama orangtuanya, biar pondasinya kuat.
-
Selanjutnya, dapat saya beri gambaran, bahwa anak adalah sumber masa depan bangsa, yang sudah sepatutnya, diawasi dengan sebaik-baiknya. Diawasi di sini maksudnya, bukan dikekang. Melainkan, didengarkan dan diberi arahan. Bukan berarti, kita sebagai orangtua, bisa sewenang-wenang terhadap anak, terlebih di masa pandemi ini.
Selama pandemi, sebagai orangtua, kita berkewajiban, membimbing anak untuk sekolah di rumah. Saya paham, bukanlah hal mudah dalam mendidik anak, mengajari pelajaran sekolahnya. Tetapi, bukan berarti anak boleh dimarahi atau dipukul, ya. Maka dari itu, sebagai orangtua, sedikit banyak, kita juga harus memiliki pendidikan yang cukup dalam mendidik dan membesarkan anak di zaman milenial ini, minimal kesabaran. Anak-anak, berhak dipenuhi haknya mengenai hal ini.
-
Setop Perkawinan Anak!
Sebagai seorang yang memiliki pengalaman meliput kegiatan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) yang merupakan sebuah organisasi di Medan, saya sering turut serta bersama PKPA, untuk mensosialisasikan untuk setop perkawinan anak di sekolah-sekolah. Saya melihat, betapa antusiasnya anak-anak di kota saya, untuk mengejar pendidikannya.
Nemun kenyataannya beberapa tahun terakhir, saat saya tak lagi menjadi peliput berita, di media-media, apalagi saat pandemi ini, malah banyak anak yang menikah. Tak hanya menikah dengan kakek atau nenek, pernikahan anak baru-baru ini, terjadi antara satu laki-laki, dengan dua perempuan, dalam jarak sebulan. Can you imagine that?
Perkawinan bukan romentisme belaka, kata Rohika. Perkawinan sejatinya adalah membangun peradaban bangsa, yang tak mungkin dikakukan oleh anak-anak. Perkawinan adalah konsep pemikiran yang membangun keluarga, bukan Cuma memiliki anak dari hasil perkawinan ini. Anak-anak 12 tahun, belum memikirkan ini. Jadi, bisa disimpulkan, kita harus menyampaikan kepada anak-anak, untuk tolak pernikahan anak.
Perkawinan anak adalah sebuah kejadian luar biasa, walau sekarang dipandang biasa. Semua orang tahu, anak 12 tahun, belum bisa menikah, apalagi melahirkan, karena rahim si perempuan, belum kuat. Belum lagi anaknya mengalami stunting. Ini adalah masalah besar dalam hal kesehatan.
Selain itu, bila dilihat dari segi pendidikan, bisa saja, anak ini tak bisa melanjutkan sekolah lagi. Malah harus bekerja, membanting tulang. Belum lagi kalau dilihat dari segi ekonomi, upahnya tidak layak, khususnya yang ijazahnya Cuma SD atau SMP. Zaman sekarang, ijazah SMA aja susah cari kerja, apalagi ijazah SD dan SMP, kan? Bagaimana menghidupi keluarganya?
Yang namanya anak, masih mencari identitas (jati diri), masih ingin bermain, mengenal orang banyak, tentu sistem pengelolaan emosinya belum stabil. Dari situlah, Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT), sering terjadi. Kalau tak tahan, sanggupkah dengan menjadi janda membawa anak di usia muda?
Atas berkat pertimbangan di atas juga, maka negara sudah mengubah UU Perkawinan N0. 1 Tahun 1974 pasal 7, menjadi UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974, sbb:
Lalu ada:
Jadi orangtua, tolong anaknya diberi pengertian atas hal-hal, mengeni dampak perkawinan anak, supaya Indonesia bersih dari berbagai resiko perkawinan anak.
Melihat media di Indonesia
Mengenai ini, Yosef Adi Praseto dari Aliansi Jurnalis Independen menyampaikan, kita harus memahami juga sebelumnya, banyak orang mendirikan sebuah media, tapi dia tidak memiliki latar belakang jurnalistik. Karena memang banyak sekali media abal-abal di Indonesia. Media yang benar dan berbadan hukum, harus taat dan patuh ke Dewan Pers. Seharusnya katanya, bila wartawan ingin mewawancarai seorang anak,
- wawancara menuntut keahlian serta kemampuan yang sangat baik dari pewawancara
- Mulai dari pemahaman masalah yang hendak dibicarakan, kesanggupan berempati pada sumber berita dan masalahnya, hingga pada penulisan hasil wawancara.
Panduan Dalam Menulis Hasil Wawancara
- Jangan beropini
Pendapat kita tidak boleh dimasukkan dalam tulisan kita.
- Perhatikan akurasi.
Ketepatan, fakta, ucapan, nama, dll, harus akurat.
- Jangan memberikan stereotip
- Jangan menggunakan kata-kata telanjang, misalnya: “mata tercukil”, “usus terburai”, dsb. Sebaiknya gunakan penjelasan, situasi yang deskriptif.
- Hindari bias gender
Jangan menyebutkan sesuatu yang bersifat ejekan.
- Gunakan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak sebagai acuan
Terdapat jelas di website dewan pers, ada 12 poin.
- Jangan menyederhanakan masalah
- Jangan mengutip pernyataan yang bernada kebencian/propaganda
- Jangan mencoba menyimpulkan. Biarkan pembaca yang menyimpulkan tulisan Anda
- Kumpulkan sumber sebanyak-banyaknya, jangan hanya satu atau dua saja, lebih-lebih dari kelompok yang sama. Gunakan sumber yang benar-benar dapat diandalkan
Dalam menuliskan pemberitaan, terlebih yang ramah perempuan anak, kita harus berempati.
Empati didefinisikan sebagai “sikap dan kemampuan untuk melihat dunia dari sisi orang lain”. Ibarat seorang dokter yang sedang mengobati pasiennya, si dokter harus bisa melihat dunia dari kaca mata pasiennya.
Pada dasarnya seorang pembicara atau penulis yang baik adalah pendengar yang baik Bicara, menulis dan mendengarkan adalah bagian esensial dari tindakan kumunikasi yang membentuk kehidupan ini. Cinta, benci, rindu, pengertian dan salah pengertian terbangun lewat bicara, menulis dan mendengarkan.
Empati memungkinkan kita untuk memahami, secara emosional dan intelektual, apa yang sedang dialami orang lain (terutama anak). Empati tak akan terlalu bermakna jika kita tidak mampu mengkomunikasikan pemahaman empati ini kepada orang lain.
Pada contoh empati ke anak-anak ini, kita bisa meniru berita di Thailand, saat anak-anak pemain bola, terperangkap di dalam gua bawah tanah yang banjir, beberapa tahun lalu.
Media di sana, tidak menyebutan identitas anak, tidak menampilkan foto-foto atau sketsa, tidak ada wawancara terkait mistik, tidak ada pertanyaan tentang firasat orangtua terhadapa anak yang hilang, juga gurunya. Kutipan hanya ada dari petugas penyelamat, cuaca, dan tim internasional. Semua fokus berupaya pada penyelamatan dan optimisme tim gabungan. Lalu ketika sudah berhasil ditemukan, baru medianya, mengungkap identitas anak, berikut pelatihnya.
Pemberitaan tersebut, walaupun tak punya pedoman pemberitaan ramah anak, tapi sudah mempraktekkan itu. Bagaimana kalau kejadian itu terjadi di sini? Bisa dibayangkan, reporternya, bertanya kepada orantua si anak dengan pertanyaan mengenai hal-hal yang tidak masuk akal, klenik, mistis, tapi tidak fokus ke upaya-upaya penyelematan.
Nah, media Indonesia, bisa meniru media Thailand. Pakailah empati kalau mau nulis berita. Tak perlu terlalu memanfaatkan moment. (informasiNet)









0 Comment